Kaitan Pola Gerak Maju
Sejarah dengan Dunia Politik atau Kekuasaan
Umumnya orang berpendapat, sejarah ini
bergerak secara linier. Makin hari, manusia akan makin maju dan bahagia. Maklum
seperti kata Agustinus, manusia ditandai dengan harapan, yang memacu dia untuk
mengharapkan kebahagiaan sempurna di masa depan. Tak terbayangkan, bahwa
manusia bisa hidup, bila ia tak mempunyai harapan akan kebahagiaan.
Namun apakah pola gerak sejarah tersebut
berjalan secara linier? Dalam sebuah kasus ataupun cakupan bidang keilmuan,
ternyata sejarah itu tidaklah selamanya berjalan secara linier. Tidaklah semaju
dan sebahagia yang diharapkan. Cakupan bidang keilmuan yang dimaksud adalah dalam bidang politik, terutama
sejarah politik. Rasanya sejarah politik itu bukanlah sekadar sejarah yang
linier, tetapi sejarah yang siklis, dimana manusia tidak mengalami kebahagiaan
yang baru, tetapi terjatuh ke dalam nasib dan pengalaman yang lama.
Pola gerak maju sejarah dalam politik
tersebut senantiasa berkembang, namun
tidak selalu menuntut garis
menanjak . layaknya Iman seseorang, terkadang ia mengalami ke-futur-an atau
gejala turun naik. Contohnya, hari ini seseorang tobat tapi besok maksiat lagi.
Seperti orang makan bakso dengan sambal yang terlalu banyak, enak tapi
diakhirnya “mencret”, namun kita terus mengulangi makan bakso tersebut.
Pierre Teilhar De Chardin mengungkapkan
bahwa gerak kemajuan itu tidak selalu menuruti garis menanjak, melainkan
menuruti garis spiral ”gerak turunnya merupakan ancang-ancang bagi gerak naik” (P.Swantoro,
232) . dalam perputaran yang siklis itu, nasib manusia adalah tragis, karena ia
gagal mencapai apa yang dia cita-citakan.
Dalam hal politik dan kekusasaan,
manusia tampaknya keras kepala dan tak pernah mau belajar dari sejarah. Itu
terjadi tidak hanya sekali, tetapi berulang-ulang kali terjadi , sama dan
serupa seperti sebelumnya. Begitulah, bukan sejarah sendiri yang siklis, tetapi
kekuasaan dan politiklah yang menjadikan
sejarah ini siklis. Kekuasaan telah menjadikan sejarah ini bergerak seperti
digerakkan oleh hukum karma: Yang sekarang terjungkal, karena sebelumnya ia
menjungkalkan lawannya. Atau revolusi memakan anaknya sendiri.
Politik dan kekuasaan yang cenderung
direbut secara paksa ataupun dengan cara revolusi dan kudeta, maka akan
cenderung pula mempertahankan kekuasan politik dengan cara paksa. fenomena
inilah sedang marak terjadi diTimur Tengah. Rezim khadafi yang berhasil merebut
pemerintahan pada tahun 1960an lewat revolusi yang dia sebut fattah abadann harus
tumbang dari kekuasaannya di tahun 2011. Walaupun ia mempertahankannya secara
militer sehingga terjadi perang saudara di Libya, namun ia digilas oleh sejarah
lewat jalan kudeta pula.
Tidak bisa kita membayangkan kalau
sampai Soekarno yang pada saat 1965 melawan “tindak-tanduk” Soeharto, dkk,
padahal Soekarno masih memiliki kekuatan dan kepercayaan di Angkatan Darat.
Bangsa ini mungkin berdampak sama dengan di Libya. Tahun 1998 pun, meski
Soeharto harus turun dengan cara yang dianggap “mulus-mulus” saja, namun serangkaian
peristiwa sebelum terjadinya reformasi 1998, harus dibayar mahal dengan “teror
negara terhadap rakyat yang menentang rezim orde baru. Walaupun, teror tersebut
dijalankan secara hati-hati dan penuh senyuman, seperti tampak tiada yang aneh.
Gerak sejarah yang siklis dalam dunia
politik tersebut memberikan pelajaran bahwa sebuah kekuasaan terkadang
mengalami turun naik, ada masa-masa kejayaan dan ada pula masa-masa kemunduran.
Dan ini berdampak pula pada pola regenerasi kepemimpinan nasional dalam politik,
seorang pemimpin yang kenal waktu, tempat dan situasai yang tepat ia pasti tahu
kapan kejayaan itu datang dan kapan ia harus mundur dari kekuasaannya. Ia pasti
dapat merasakan bagaimana sang mentari itu terbit,tegak, dan tenggelam pula. Setiap
pemimpin pasti ada zamannya. Hatta merupakan contoh pemimpin yang dapat membaca
tanda-tanda zaman ketika tiba waktu ia harus mundur, ia bukannya meninggalkan
Soekarno pada 1955 sebagai wakil presiden, ia sadar dan konsisten akan
kata-katanya bahwa “demokrasi yang melumpuhkan demokrasi lambat laut akan
diganti dengan otokrasi atau diktatur (P.Swantoro, xxxii)”. Hatta melihat itu
semua pada diri Soekarno yang telah dimabukkan dengan kekuasaan. Ia bukan tokoh
demagog, dan ia tidak harus mabuk dan dikuasai oleh kekuasaan itu sendiri.
Dalam pola gerak sejarah meniscayakan
seorang pemimpin yang menggerakkan sejarah tersebut. Oleh karena itu pula
mengapa sejarah itu selalu bercerita tentang orang-orang besar. Namun apakah pola gerak sejarah itu selalu
didominasi oleh golongan elite sejarah? Dimanakah posisi sang Jelata dalam
sejarah? Para pemenang dalam sejarah yang nantinya berkuasa tersebut pastilah
menguasai sang jelata. Ia membuat atau menyuruh buat dokumen tertulis, menyuruh
pahat monumen, membangun patung ataupun tugu peringatan suatu peristiwa dengan
satu tujuan yaitu mengukir keabadian perbuatan-perbuatan mereka atau bisa juga
sebagai alat legitimasi kekuasaan sang pemimpin.
Ditinjau dari Auguste Comte yang membagi
alam perkembangan manusia menjadi empat, yaitu tahap mitos, tahap penalaran
deduktif (Rasionalisme), tahap penalaran induktif (empiris) dan tahap
pengkristalan metode ilmiah. ketika peradaban masih hidup dalam alam pikiran
magis dan mistis, pusat sejarah adalah sang raja yang dipercayai punya
legitimasinya sendiri dengan wahyu dan kekeramatannya. Sejarah pun ditulis
dalam bentuk babad yang isinya mencampuradukkan antara unsur-unsur magis dan
mistis dengan raja-raja dan silsilahnya dan segala tindakan-tindakan
keperkasaannya.
Orang kecil dan atau para kawula tidak
pernah dituliskan peran maupun keberadaannya. Sejarah ada di tangan sang raja
di dalam peradaban magis-mistis. Manakala peradaban semakin berpijak pada
kekuatan kesadaran budi dan rasionalitas manusia. Timbul pula kesadaran untuk
memikirkan sejarah-sejarah sang jelata. Mengangkat peran dan keberadaan dalam
unsur yang menjadi bagian dari gerak sejarah itu sendiri.