Minggu, 04 November 2012


Kaitan Pola Gerak Maju Sejarah dengan Dunia Politik atau Kekuasaan

Umumnya orang berpendapat, sejarah ini bergerak secara linier. Makin hari, manusia akan makin maju dan bahagia. Maklum seperti kata Agustinus, manusia ditandai dengan harapan, yang memacu dia untuk mengharapkan kebahagiaan sempurna di masa depan. Tak terbayangkan, bahwa manusia bisa hidup, bila ia tak mempunyai harapan akan kebahagiaan.

Namun apakah pola gerak sejarah tersebut berjalan secara linier? Dalam sebuah kasus ataupun cakupan bidang keilmuan, ternyata sejarah itu tidaklah selamanya berjalan secara linier. Tidaklah semaju dan sebahagia yang diharapkan. Cakupan bidang keilmuan yang  dimaksud adalah dalam bidang politik, terutama sejarah politik. Rasanya sejarah politik itu bukanlah sekadar sejarah yang linier, tetapi sejarah yang siklis, dimana manusia tidak mengalami kebahagiaan yang baru, tetapi terjatuh ke dalam nasib dan pengalaman yang lama.

Pola gerak maju sejarah dalam politik tersebut senantiasa berkembang, namun  tidak selalu menuntut  garis menanjak . layaknya Iman seseorang, terkadang ia mengalami ke-futur-an atau gejala turun naik. Contohnya, hari ini seseorang tobat tapi besok maksiat lagi. Seperti orang makan bakso dengan sambal yang terlalu banyak, enak tapi diakhirnya “mencret”, namun kita terus mengulangi makan bakso tersebut.

Pierre Teilhar De Chardin mengungkapkan bahwa gerak kemajuan itu tidak selalu menuruti garis menanjak, melainkan menuruti garis spiral ”gerak turunnya merupakan ancang-ancang bagi gerak naik” (P.Swantoro, 232) . dalam perputaran yang siklis itu, nasib manusia adalah tragis, karena ia gagal mencapai apa yang dia cita-citakan.

Dalam hal politik dan kekusasaan, manusia tampaknya keras kepala dan tak pernah mau belajar dari sejarah. Itu terjadi tidak hanya sekali, tetapi berulang-ulang kali terjadi , sama dan serupa seperti sebelumnya. Begitulah, bukan sejarah sendiri yang siklis, tetapi kekuasaan  dan politiklah yang menjadikan sejarah ini siklis. Kekuasaan telah menjadikan sejarah ini bergerak seperti digerakkan oleh hukum karma: Yang sekarang terjungkal, karena sebelumnya ia menjungkalkan lawannya. Atau revolusi memakan anaknya sendiri.

Politik dan kekuasaan yang cenderung direbut secara paksa ataupun dengan cara revolusi dan kudeta, maka akan cenderung pula mempertahankan kekuasan politik dengan cara paksa. fenomena inilah sedang marak terjadi diTimur Tengah. Rezim khadafi yang berhasil merebut pemerintahan pada tahun 1960an lewat revolusi yang dia sebut fattah abadann harus tumbang dari kekuasaannya di tahun 2011. Walaupun ia mempertahankannya secara militer sehingga terjadi perang saudara di Libya, namun ia digilas oleh sejarah lewat jalan kudeta pula.

Tidak bisa kita membayangkan kalau sampai Soekarno yang pada saat 1965 melawan “tindak-tanduk” Soeharto, dkk, padahal Soekarno masih memiliki kekuatan dan kepercayaan di Angkatan Darat. Bangsa ini mungkin berdampak sama dengan di Libya. Tahun 1998 pun, meski Soeharto harus turun dengan cara yang dianggap “mulus-mulus” saja, namun serangkaian peristiwa sebelum terjadinya reformasi 1998, harus dibayar mahal dengan “teror negara terhadap rakyat yang menentang rezim orde baru. Walaupun, teror tersebut dijalankan secara hati-hati dan penuh senyuman, seperti tampak tiada yang aneh.

Gerak sejarah yang siklis dalam dunia politik tersebut memberikan pelajaran bahwa sebuah kekuasaan terkadang mengalami turun naik, ada masa-masa kejayaan dan ada pula masa-masa kemunduran. Dan ini berdampak pula pada pola regenerasi kepemimpinan nasional dalam politik, seorang pemimpin yang kenal waktu, tempat dan situasai yang tepat ia pasti tahu kapan kejayaan itu datang dan kapan ia harus mundur dari kekuasaannya. Ia pasti dapat merasakan bagaimana sang mentari itu terbit,tegak, dan tenggelam pula. Setiap pemimpin pasti ada zamannya. Hatta merupakan contoh pemimpin yang dapat membaca tanda-tanda zaman ketika tiba waktu ia harus mundur, ia bukannya meninggalkan Soekarno pada 1955 sebagai wakil presiden, ia sadar dan konsisten akan kata-katanya bahwa “demokrasi yang melumpuhkan demokrasi lambat laut akan diganti dengan otokrasi atau diktatur (P.Swantoro, xxxii)”. Hatta melihat itu semua pada diri Soekarno yang telah dimabukkan dengan kekuasaan. Ia bukan tokoh demagog, dan ia tidak harus mabuk dan dikuasai oleh kekuasaan itu sendiri.

Dalam pola gerak sejarah meniscayakan seorang pemimpin yang menggerakkan sejarah tersebut. Oleh karena itu pula mengapa sejarah itu selalu bercerita tentang orang-orang besar.  Namun apakah pola gerak sejarah itu selalu didominasi oleh golongan elite sejarah? Dimanakah posisi sang Jelata dalam sejarah? Para pemenang dalam sejarah yang nantinya berkuasa tersebut pastilah menguasai sang jelata. Ia membuat atau menyuruh buat dokumen tertulis, menyuruh pahat monumen, membangun patung ataupun tugu peringatan suatu peristiwa dengan satu tujuan yaitu mengukir keabadian perbuatan-perbuatan mereka atau bisa juga sebagai alat legitimasi kekuasaan sang pemimpin.

Ditinjau dari Auguste Comte yang membagi alam perkembangan manusia menjadi empat, yaitu tahap mitos, tahap penalaran deduktif (Rasionalisme), tahap penalaran induktif (empiris) dan tahap pengkristalan metode ilmiah. ketika peradaban masih hidup dalam alam pikiran magis dan mistis, pusat sejarah adalah sang raja yang dipercayai punya legitimasinya sendiri dengan wahyu dan kekeramatannya. Sejarah pun ditulis dalam bentuk babad yang isinya mencampuradukkan antara unsur-unsur magis dan mistis dengan raja-raja dan silsilahnya dan segala tindakan-tindakan keperkasaannya.

Orang kecil dan atau para kawula tidak pernah dituliskan peran maupun keberadaannya. Sejarah ada di tangan sang raja di dalam peradaban magis-mistis. Manakala peradaban semakin berpijak pada kekuatan kesadaran budi dan rasionalitas manusia. Timbul pula kesadaran untuk memikirkan sejarah-sejarah sang jelata. Mengangkat peran dan keberadaan dalam unsur yang menjadi bagian dari gerak sejarah itu sendiri.

Jumat, 17 Agustus 2012

Aku Masih Mencintaimu, Merah-Putihku.



Alarm membangunkan ku tepat pukul 03.30 tidak kurang dan tidak lebih satu menit pun. Pada bulan Ramadhan aku selalu bangun lebih pagi karena aku harus melaksanakan sahur agar lebih kuat menjalankan ibadah puasa di siang hari. Selesai santap sahur aku menunggu berkumandangnya adzan shubuh untuk menunaikan kewajiban shalat shubuh. Aku ingat hari ini tanggal 17 Agustus, tanggal dimana bangsaku merayakan hari jadinya. Bulan Ramadhan tahun ini memang berdampingan dengan hari jadi bangsaku. Namun mengapa perasaanku biasa-biasa saja untuk menyambut hari jadi bangsaku tidak ada rasa bangga, gembira ataupun sedih untuk menyambutnya. Sebaiknya kubenamkan lagi wajahku ke bantal toh aku sudah tidak punya kewajiban lagi untuk menghadiri upacara bendera karena aku bukan lagi seorang murid sekolahan.

Kulirik jam dan jam meliriku kembali menunjukan pukul 11.00 kalau ini 67 tahun yang lalu proklamasi kemerdekaan sudah habis dibacakan dan orang-orang pada saat itu pasti dengan semangat meneriakan kata “MERDEKA” “INDONESIA MERDEKA” sementara aku baru terbangun dari tidur. Anak bangsa macam apa aku ini? Sebaiknya aku bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Jum’at daripada terus memikirkan hari kemerdekaan yang aku rasakan biasa-biasa saja.

Kulihat begitu antusias orang-orang di dunia maya untuk mengucapkan kritikan, rasa bangga, selamat ulang tahun dan semua tentang merah-putih. Aku sesekali membaca beberapa note dan artikel tentang hari ini dan menyadari bahwa warna merah dan putih bergentayangan di berbagai jejaring sosial.

Ada apa gerangan yang terjadi dengan otakku? Apa yang salah dengan merah-putih? Reaksi hormonalku berbeda hari ini, 17 Agustus tahun ini biasa-biasa saja bagiku, tidak ada perasaan bangga, gembira ataupun sedih untuk menyambutnya. Tiba-tiba terbesit pertanyaan dalam benakku dengan emosi yang meletup entah darimana asalnya. Memang apa lagi yang aku harapkan untuk memaknai nasionalisme, selain mimpi-mimpi yang semu? Bukankah bangsa ini sudah keteteran dan kelimbungan dengan seabreg masalah yang terus-menerus timbul tenggelam? Sehingga membuat bangsa ini lupa untuk memikirkan rakyatnya. Apakah memerah-putihkan Facebook atau membuat trending topic worldwide di Twitter adalah nasionalisme yang hanyut dalam realitas kekinian? Lalu apa realitas yang sebenarnya itu?

Aku bosan mendengar ceramah-ceramah panjang tentang kemanusiaan yang belum kesampaian di negeri merah ini. Aku bosan mendengar seruan pemuda harus bergerak sebagai agen perubahan. Tak perlu kisahkan aku lagi dengan ilusi negeri subur khatulistiwa yang memberikan apapun yang kau tanam. Tak perlu dongengi aku dengan cerita kebusukan politik, sejarah-sejarah panjang yang bau anyir darah tentang negeri ini, atau tentang wabah tikus-tikus kotor pemangsa kekuasaan yang belum ada obatnya.

Aku muak dan terlalu capek mendengar semua kejahatan dan kebusukan yang terjadi di negeri ini. Aku jenuh menjadi agen perubahan, memang masih ada yang masih bisa diubah? “Sadarlah, Bung! Negeri ini, Nasionalisme dan apa lah isme-isme yang ada itu sudah gulung tikar habis semuanya. Negeri ini hanya sebagai binatang percobaan kapitalis, Negeri ini hanya lah pasien rumah sakit yang tak dapat disembuhkan sementara organ tubuhnya diambil satu per satu untuk memperkaya negeri lain. Lagi-lagi oleh Kapitalis yang tak pernah kumengerti apa tujuannya?”

Ada apa gerangan dengan diriku sepertinya pemikiranku sudah terkontaminasi atau memang nasionalisme di dadaku sudah hilang? Sejak kapan aku berhenti bangga, berhenti bersedih, berhenti bermimpi untuk negeri ini, berhenti mengkritik tentang negeri ini. Baiknya pecat saja aku jadi anak bangsa. Bahkan setengah hari telah lewat hari jadi bangsaku, tapi kibaran merah-putih belum kujumpai. Belum kuangkat tangan kananku untuk memberi hormat.

Kupikir hari kemerdekaan kali ini akan lewat begitu saja tanpa satu pun pikiran dan ucapan selamat kepada bangsaku. Tapi setelah membaca berbagai macam artikel, note, kritikan, dan ucapan yang bergentayangan di dunia maya, emosi pun bergejolak, melonjak secara tiba-tiba. Mungkin aku terlalu munafik atau aku yang belum cukup dewasa menjadi seorang agen perubahan. Aku rasa aku butuh waktu untuk menunggu rasa rindu datang kembali menjadi anak negeri ini.

Lalu aku bayangkan sang Merah-Putih yang letih bertengger di tiangnya. Tidak lagi berkibar dengan gagah seperti dulu pernah kubayangkan. Warnanya masih merah menyala dan putihnya bersih karena hanya dikeluarkan setahun sekali. Tapi entah mengapa kulihat ada kesedihan dalam kibarannya. Mungkin merah-putih sedih dan terluka punya anak bangsa seperti aku. Tapi inilah aku adanya. Mungkin aku bukan anak bangsa yang teladan, bukan pula anak bangsa yang ideal dalam pelajaran kewarganegaraan. Namun ini hanyalah kejujuran dan emosi frustasi yang membuncah.

Maafkan aku merah-putih, aku tak tahu harus kemana melangkahkan kaki, aku tak meminta kau tuntun aku dalam mencari arti nasionalisme, akan kutemukan arti itu sendiri sepanjang perjalanan hidupku. Atau mungkin aku sudah tersesat selamanya dan memandangi negeri ini lenyap dalam gemerlap globalisasi. Pintaku padamu merah-putihku, doakan aku agar secepatnya menemukan arti itu. Namun satu kejujuran yang masih ada dalam benakku yang tak bisa kubohongi, meski aku jenuh dan frustasi tetapi sesungguhnya aku masih mencintaimu, merah-putihku, negeriku Indonesia.

Serang, 17 Agustus 2012