Jumat, 17 Agustus 2012

Aku Masih Mencintaimu, Merah-Putihku.



Alarm membangunkan ku tepat pukul 03.30 tidak kurang dan tidak lebih satu menit pun. Pada bulan Ramadhan aku selalu bangun lebih pagi karena aku harus melaksanakan sahur agar lebih kuat menjalankan ibadah puasa di siang hari. Selesai santap sahur aku menunggu berkumandangnya adzan shubuh untuk menunaikan kewajiban shalat shubuh. Aku ingat hari ini tanggal 17 Agustus, tanggal dimana bangsaku merayakan hari jadinya. Bulan Ramadhan tahun ini memang berdampingan dengan hari jadi bangsaku. Namun mengapa perasaanku biasa-biasa saja untuk menyambut hari jadi bangsaku tidak ada rasa bangga, gembira ataupun sedih untuk menyambutnya. Sebaiknya kubenamkan lagi wajahku ke bantal toh aku sudah tidak punya kewajiban lagi untuk menghadiri upacara bendera karena aku bukan lagi seorang murid sekolahan.

Kulirik jam dan jam meliriku kembali menunjukan pukul 11.00 kalau ini 67 tahun yang lalu proklamasi kemerdekaan sudah habis dibacakan dan orang-orang pada saat itu pasti dengan semangat meneriakan kata “MERDEKA” “INDONESIA MERDEKA” sementara aku baru terbangun dari tidur. Anak bangsa macam apa aku ini? Sebaiknya aku bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Jum’at daripada terus memikirkan hari kemerdekaan yang aku rasakan biasa-biasa saja.

Kulihat begitu antusias orang-orang di dunia maya untuk mengucapkan kritikan, rasa bangga, selamat ulang tahun dan semua tentang merah-putih. Aku sesekali membaca beberapa note dan artikel tentang hari ini dan menyadari bahwa warna merah dan putih bergentayangan di berbagai jejaring sosial.

Ada apa gerangan yang terjadi dengan otakku? Apa yang salah dengan merah-putih? Reaksi hormonalku berbeda hari ini, 17 Agustus tahun ini biasa-biasa saja bagiku, tidak ada perasaan bangga, gembira ataupun sedih untuk menyambutnya. Tiba-tiba terbesit pertanyaan dalam benakku dengan emosi yang meletup entah darimana asalnya. Memang apa lagi yang aku harapkan untuk memaknai nasionalisme, selain mimpi-mimpi yang semu? Bukankah bangsa ini sudah keteteran dan kelimbungan dengan seabreg masalah yang terus-menerus timbul tenggelam? Sehingga membuat bangsa ini lupa untuk memikirkan rakyatnya. Apakah memerah-putihkan Facebook atau membuat trending topic worldwide di Twitter adalah nasionalisme yang hanyut dalam realitas kekinian? Lalu apa realitas yang sebenarnya itu?

Aku bosan mendengar ceramah-ceramah panjang tentang kemanusiaan yang belum kesampaian di negeri merah ini. Aku bosan mendengar seruan pemuda harus bergerak sebagai agen perubahan. Tak perlu kisahkan aku lagi dengan ilusi negeri subur khatulistiwa yang memberikan apapun yang kau tanam. Tak perlu dongengi aku dengan cerita kebusukan politik, sejarah-sejarah panjang yang bau anyir darah tentang negeri ini, atau tentang wabah tikus-tikus kotor pemangsa kekuasaan yang belum ada obatnya.

Aku muak dan terlalu capek mendengar semua kejahatan dan kebusukan yang terjadi di negeri ini. Aku jenuh menjadi agen perubahan, memang masih ada yang masih bisa diubah? “Sadarlah, Bung! Negeri ini, Nasionalisme dan apa lah isme-isme yang ada itu sudah gulung tikar habis semuanya. Negeri ini hanya sebagai binatang percobaan kapitalis, Negeri ini hanya lah pasien rumah sakit yang tak dapat disembuhkan sementara organ tubuhnya diambil satu per satu untuk memperkaya negeri lain. Lagi-lagi oleh Kapitalis yang tak pernah kumengerti apa tujuannya?”

Ada apa gerangan dengan diriku sepertinya pemikiranku sudah terkontaminasi atau memang nasionalisme di dadaku sudah hilang? Sejak kapan aku berhenti bangga, berhenti bersedih, berhenti bermimpi untuk negeri ini, berhenti mengkritik tentang negeri ini. Baiknya pecat saja aku jadi anak bangsa. Bahkan setengah hari telah lewat hari jadi bangsaku, tapi kibaran merah-putih belum kujumpai. Belum kuangkat tangan kananku untuk memberi hormat.

Kupikir hari kemerdekaan kali ini akan lewat begitu saja tanpa satu pun pikiran dan ucapan selamat kepada bangsaku. Tapi setelah membaca berbagai macam artikel, note, kritikan, dan ucapan yang bergentayangan di dunia maya, emosi pun bergejolak, melonjak secara tiba-tiba. Mungkin aku terlalu munafik atau aku yang belum cukup dewasa menjadi seorang agen perubahan. Aku rasa aku butuh waktu untuk menunggu rasa rindu datang kembali menjadi anak negeri ini.

Lalu aku bayangkan sang Merah-Putih yang letih bertengger di tiangnya. Tidak lagi berkibar dengan gagah seperti dulu pernah kubayangkan. Warnanya masih merah menyala dan putihnya bersih karena hanya dikeluarkan setahun sekali. Tapi entah mengapa kulihat ada kesedihan dalam kibarannya. Mungkin merah-putih sedih dan terluka punya anak bangsa seperti aku. Tapi inilah aku adanya. Mungkin aku bukan anak bangsa yang teladan, bukan pula anak bangsa yang ideal dalam pelajaran kewarganegaraan. Namun ini hanyalah kejujuran dan emosi frustasi yang membuncah.

Maafkan aku merah-putih, aku tak tahu harus kemana melangkahkan kaki, aku tak meminta kau tuntun aku dalam mencari arti nasionalisme, akan kutemukan arti itu sendiri sepanjang perjalanan hidupku. Atau mungkin aku sudah tersesat selamanya dan memandangi negeri ini lenyap dalam gemerlap globalisasi. Pintaku padamu merah-putihku, doakan aku agar secepatnya menemukan arti itu. Namun satu kejujuran yang masih ada dalam benakku yang tak bisa kubohongi, meski aku jenuh dan frustasi tetapi sesungguhnya aku masih mencintaimu, merah-putihku, negeriku Indonesia.

Serang, 17 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar