Alarm membangunkan ku
tepat pukul 03.30 tidak kurang dan tidak lebih satu menit pun. Pada bulan Ramadhan
aku selalu bangun lebih pagi karena aku harus melaksanakan sahur agar lebih
kuat menjalankan ibadah puasa di siang hari. Selesai santap sahur aku menunggu
berkumandangnya adzan shubuh untuk menunaikan kewajiban shalat shubuh. Aku ingat
hari ini tanggal 17 Agustus, tanggal dimana bangsaku merayakan hari jadinya.
Bulan Ramadhan tahun ini memang berdampingan dengan hari jadi bangsaku. Namun
mengapa perasaanku biasa-biasa saja untuk menyambut hari jadi bangsaku tidak
ada rasa bangga, gembira ataupun sedih untuk menyambutnya. Sebaiknya
kubenamkan lagi wajahku ke bantal toh aku sudah tidak punya kewajiban lagi
untuk menghadiri upacara bendera karena aku bukan lagi seorang murid sekolahan.
Kulirik jam dan jam
meliriku kembali menunjukan pukul 11.00 kalau ini 67 tahun yang lalu proklamasi
kemerdekaan sudah habis dibacakan dan orang-orang pada saat itu pasti dengan
semangat meneriakan kata “MERDEKA” “INDONESIA MERDEKA” sementara aku baru
terbangun dari tidur. Anak bangsa macam apa aku ini? Sebaiknya aku bersiap-siap
untuk melaksanakan shalat Jum’at daripada terus memikirkan hari kemerdekaan
yang aku rasakan biasa-biasa saja.
Kulihat begitu antusias
orang-orang di dunia maya untuk mengucapkan kritikan, rasa bangga, selamat ulang
tahun dan semua tentang merah-putih. Aku sesekali membaca beberapa note dan artikel tentang hari ini dan menyadari bahwa warna merah dan putih bergentayangan
di berbagai jejaring sosial.
Ada apa gerangan yang
terjadi dengan otakku? Apa yang salah dengan merah-putih? Reaksi hormonalku
berbeda hari ini, 17 Agustus tahun ini biasa-biasa saja bagiku, tidak ada perasaan
bangga, gembira ataupun sedih untuk menyambutnya. Tiba-tiba terbesit pertanyaan
dalam benakku dengan emosi yang meletup entah darimana asalnya. Memang apa lagi yang aku harapkan untuk
memaknai nasionalisme, selain mimpi-mimpi yang semu? Bukankah bangsa ini sudah
keteteran dan kelimbungan dengan seabreg masalah yang terus-menerus timbul
tenggelam? Sehingga membuat bangsa ini lupa untuk memikirkan rakyatnya. Apakah
memerah-putihkan Facebook atau membuat trending topic worldwide di Twitter adalah
nasionalisme yang hanyut dalam realitas kekinian? Lalu apa realitas yang
sebenarnya itu?
Aku bosan mendengar ceramah-ceramah
panjang tentang kemanusiaan yang belum kesampaian di negeri merah ini. Aku
bosan mendengar seruan pemuda harus bergerak sebagai agen perubahan. Tak perlu
kisahkan aku lagi dengan ilusi negeri subur khatulistiwa yang memberikan apapun
yang kau tanam. Tak perlu dongengi aku dengan cerita kebusukan politik,
sejarah-sejarah panjang yang bau anyir darah tentang negeri ini, atau tentang
wabah tikus-tikus kotor pemangsa kekuasaan yang belum ada obatnya.
Aku muak dan terlalu
capek mendengar semua kejahatan dan kebusukan yang terjadi di negeri ini. Aku
jenuh menjadi agen perubahan, memang masih ada yang masih bisa diubah? “Sadarlah,
Bung! Negeri ini, Nasionalisme dan apa lah isme-isme yang ada itu sudah gulung
tikar habis semuanya. Negeri ini hanya sebagai binatang percobaan kapitalis,
Negeri ini hanya lah pasien rumah sakit yang tak dapat disembuhkan sementara
organ tubuhnya diambil satu per satu untuk memperkaya negeri lain. Lagi-lagi
oleh Kapitalis yang tak pernah kumengerti apa tujuannya?”
Ada apa gerangan dengan
diriku sepertinya pemikiranku sudah terkontaminasi atau memang nasionalisme di
dadaku sudah hilang? Sejak kapan aku berhenti bangga, berhenti bersedih,
berhenti bermimpi untuk negeri ini, berhenti mengkritik tentang negeri ini. Baiknya
pecat saja aku jadi anak bangsa. Bahkan setengah hari telah lewat hari jadi
bangsaku, tapi kibaran merah-putih belum kujumpai. Belum kuangkat tangan
kananku untuk memberi hormat.
Kupikir hari
kemerdekaan kali ini akan lewat begitu saja tanpa satu pun pikiran dan ucapan
selamat kepada bangsaku. Tapi setelah membaca berbagai macam artikel, note, kritikan, dan ucapan yang
bergentayangan di dunia maya, emosi pun bergejolak, melonjak secara tiba-tiba. Mungkin
aku terlalu munafik atau aku yang belum cukup dewasa menjadi seorang agen
perubahan. Aku rasa aku butuh waktu untuk menunggu rasa rindu datang kembali
menjadi anak negeri ini.
Lalu aku bayangkan sang
Merah-Putih yang letih bertengger di tiangnya. Tidak lagi berkibar dengan gagah
seperti dulu pernah kubayangkan. Warnanya masih merah menyala dan putihnya
bersih karena hanya dikeluarkan setahun sekali. Tapi entah mengapa kulihat ada
kesedihan dalam kibarannya. Mungkin merah-putih sedih dan terluka punya anak
bangsa seperti aku. Tapi inilah aku adanya. Mungkin aku bukan anak bangsa yang
teladan, bukan pula anak bangsa yang ideal dalam pelajaran kewarganegaraan.
Namun ini hanyalah kejujuran dan emosi frustasi yang membuncah.
Maafkan aku
merah-putih, aku tak tahu harus kemana melangkahkan kaki, aku tak meminta kau
tuntun aku dalam mencari arti nasionalisme, akan kutemukan arti itu sendiri sepanjang
perjalanan hidupku. Atau mungkin aku sudah tersesat selamanya dan memandangi
negeri ini lenyap dalam gemerlap globalisasi. Pintaku padamu merah-putihku,
doakan aku agar secepatnya menemukan arti itu. Namun satu kejujuran yang masih
ada dalam benakku yang tak bisa kubohongi, meski aku jenuh dan frustasi tetapi
sesungguhnya aku masih mencintaimu, merah-putihku, negeriku Indonesia.
Serang, 17 Agustus 2012